KEDUDUKAN BAHASA INDONESIA
I. Pengertian Bahasa Indonesia
Dalam kehidupan sehari-hari, kita kerap menggunakan bahasa Indonesia. Ia merupakan bahasa yang penting di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dilihat dari kedudukannya dalam khazanah kehidupan berbangsa dan bernegara, bahasa Indonesia memiliki dua pengertian, yaitu sebagai bahasa nasional dan sebagai bahasa negara.
Bahasa Indonesia, dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, didasarkan pada Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928, terutama butir ketiga yang berbunyi: "Kami putra dan putrid Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia". Sementara dalam kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara didasarkan pada Undang-Undang Dasar 1945, Bab XV, Pasal 36 yang berbunyi, "Bahasa negara adalah bahasa Indonesia".
Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia memiliki beberapa fungsi. Pertama, sebagai lambang kebanggaan nasional. Artinya, bahwa bahasa Indonesia mencerminkan nilai-nilai social budaya yang mendasari rasa kebangsaan bangsa Indonesia.
Fungsi kedua dari bahasa Indonesia dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional adalah sebagai lambang jati diri atau identitas nasional. Artinya, bahwa bahasa Indonesia merupakan cerminan kepribadian bangsa Indonesia secara eksistensi.
Selain sebagai lambang jati diri atau identitas nasional, bahasa Indonesia dalam kedudukannnya sebagai bahasa nasional juga memiliki fungsi sebagai alat pemersatu berbagai masyarakat yang berbeda latar belakang sosial, budaya, dan bahasanya. Artinya, bahwa bahasa Indonesia berfungsi sebagai alat komunikasi di seluruh pelosok Indonesia.
Fungsi terakhir yang dimiliki oleh bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional adalah sebagai alat perhubungan antarbudaya dan antardaerah. Artinya, bahwa dengan adanya bahasa Indonesia dan penggunaan bahasa Indonesia bangsa Indonesia mendahulukan kepentingan nasional ketimbang kepentingan daerah, suku ataupun golongan.
Tadi telah dipaparkan, bahwa bahasa Indonesia juga berkedudukan sebagai bahasa negara. Sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia memiliki beberapa fungsi. Pertama sebagai bahasa resmi negara.
Sebagai bahasa resmi negara, bahasa Indonesia digunakan untuk berbagai keperluan kenegaraan, baik lisan maupun tulis, seperti pidato-pidato kenegaraan, dokumen-dokumen resmi negara, dan sidang-sidang yang bersifat kenegaraan. Semua itu dilakukan dengan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantarnya.
Fungsi kedua bahasa Indonesia dalam kedudukannya sebagai bahasa negara adalah sebagai bahasa pengantar resmi di lembaga-lembaga pendidikan. Dalam fungsinya ini, bahasa Indonesia digunakan sebagai sarana penyampai ilmu pengetahuan kepada anak didik di bangku pendidikan dari tingkat taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi, baik negri maupun swasta.
Selain sebagai bahasa pengantar resmi di lembaga-lembaga pendidikan, bahasa Indonesia, sebagai bahasa negara, juga memiliki fungsi sebagai bahasa resmi dalam perhubungan pada tingkat nasional, baik untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan maupun untuk kepentingan pemerintahan. Artinya, bahwa bahasa Indonesia tidak saja hanya digunakan sebagai alat komunikasi timbal-balik antara pemerintah dan masyarakat luas, melainkan juga digunakan sebagai alat komunikasi penduduk di seluruh pelosok Indonesia.
Fungsi terakhir dari bahasa Indonesia sebagai bahasa negara adalah sebagai bahasa resmi di dalam kebudayaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Artinya, bahwa bahasa Indonesia dipakai sebagai alat untuk mengembangkan dan membina iptek dan kebudayaan nasional sehingga tercipta satu ciri khas yang menandakan satu kesatuan negara Indonesia dan bukannya kedaerahan.
II. Sejarah Bahasa Indonesia
Untuk dapat meraih kedudukannya sebagai bahasa nasional dan bahasa negara, bahasa Indonesia memiliki sejarah yang sangat panjang.
Telah diketahui bersama bahwa bahasa Indonesia yang kita gunakan saat ini berasal dari bahasa Melayu. Ada beberapa alasan yang menyebabkan diangkatnya bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia. Pertama, bahwa bahasa melayu merupakan lingua franca (bahasa yang dipergunakan sebagai alat komunikasi sosial di antara orang-orang yang berlainan bahasanya) di Indonesia.
Jauh sebelum bahasa Indonesia ada dan dipergunakan sebagai bahasa nasional dan bahasa negara di Indonesia, bahasa Melayu sudah terlebih dahulu menjadi alat komunikasi di Indonesia. Ini dapat dilihat dari banyaknya prasasti-prasasti pada zaman kerajaan Sriwijaya (kisaran abad VII) yang ditulis dengan menggunakan bahasa Melayu, seperti prasasti di Talang Tuwo, Palembang yang berangka tahun 684, prasasti di Kota Kapur, Bangka Barat yang berangka tahun 686, ataupun prasasti Karang Brahi yang berangka tahun 686.
Selain itu, keberadaan bahasa Melayu sebagai lingua franca di Indonesia juga dapat dilihat dari daftar kata-kata yang disusun oleh seorang Portugis bernama Pigafetta pada tahun 1522. Daftar tersebut dia susun berdasarkan kata-kata dari bahasa Melayu yang ada dan tersebar penggunaan di kepulauan Maluku. Atau juga pada surat keputusan yang dikeluarkan oleh Pemerintah kolonial Belanda. Surat keputusan yang bernomor K.B. 1871 No. 104 menyatakan bahwa pengajaran di sekolah-sekolah bumi putera diberi dalam bahasa Daerah, kalau tidak dipakai bahasa Melayu.
Alasan kedua yang meyebabkan diangkat bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia adalah kesederhanaan sistem bahasa Melayu yang tidak memiliki tingkatan. Tidak seperti bahasa Jawa yang memiliki tingkatan seperti kromo, kromo madya, dan ngoko, bahasa Melayu tidak mengenal sistem tingkatan seperti itu. Bahasa Melayu tidak mengenal tingkatan-tingkatan dalam sistem berbahasanya inilah yang menciptakan kesan bahasa Melayu mudah untuk dipelajari.
Selain itu, diterima dan diangkatnya bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia disebabkan karena kerelaan berbagai suku di Indoensia untuk menerima bahasa Melayu sebagai bahasa nasional bangsa Indonesia. Bentuk kerelaan ini puncaknya terjadi pada Kongres Pemuda Indonesia tanggal 28 Oktober 1928 yang melahirkan teks Naskah Sumpah Pemuda, yang salah satu butirnya berbunyi, "Kami putra dan putrid Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Alasan keempat atau alasan terakhir yang menyebabkan diangkatnya bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia adalah kesanggupan bahasa Melayu untuk dipakai sebagai bahasa kebudayaan dalam arti yang luas. Kesanggupan ini dibuktikan dengan keberadaan bahasa Melayu yang merupakan alat perhubungan antara orang-orang yang berlainan bahasanya di Indonesia. Sebagai alat perhubungan tersebut, bahasa Melayu telah mampu membuktikan kemampuannya dalam menterjemahkan segala perilaku dan bentuk-bentuk budaya yang ada di Indonesia, sehingga mereka yang berada di luar wilayah kebudayaan Indonesia pun dapat memahami segala bentuk dan perilaku kebudayaan yang ada di Indonesia.
III. Ragam Bahasa Indonesia
Dalam praktek pemakaiannya bahasa memiliki banyak ragam. Secara sederhana, ragam bahasa dapat diartikan sebagai variasi pemakaian bahasa yang timbul sebagai akibat adanya sarana, situasi, norma dan bidang pemakaian bahasa yang berbeda-beda. Merujuk pada pengertian tersebut, maka ragam bahasa dapat dilihat dari empat segi, yaitu: (a) segi sarana pemakaiannya, (b) segi situasi pemakaiannya, (c) segi norma pemakaiannya, dan (d) segi bidang pemkaiannya.
Berdasarkan segi sarana pemakaiannya, bahasa Indonesia dapat dibedakan atas dua ragam, yakni tulis dan lisan. Ragam bahasa Indonesia tulis adalah variasi bahasa Indonesia yang dipergunakan dengan medium tulisan. Sementara ragam bahasa Indonesia lisan adalah ragam bahasa Indonesia yang diungkapkan dalam bentuk lisan.
Antara ragam bahasa lisan dan bahasa tulis terdapat beberapa perbedaan, sebagai berikut:
a. Ragam bahasa lisan menghendaki adanya orang kedua yang bertindak sebagai lawan bicara orang pertama yang hadir di dapan, sedangkan dalam ragam tulis keberadaan orang kedua yang bertindak sebagai lawan bicara tidak harus ada atau hadir di hadapan.
b. Dalam ragam bahasa lisan unsur-unsur fungsi gramatikal seperti subjek, predikat dan objek tidak selalu dinyatakan, bahkan terkadang (dan tak jarang) unsure-unsur tersebut ditinggalkan. Ini disebabkan karena bahasa yang digunakan tersebut dapat dibantu oleh gerak, mimik, pandangan, anggukan atau intonasi. Sementara pada ragam bahasa tulis fungsi-fungsi gramatikal senantiasa dinyatakan dengan jelas. Ini semata karena ragam tulis menghendaki agar orang yang "diajak bicara" mengerti isi dari sebuah tulisan yang disampaikan.
c. Ragam bahasa lisan terikat pada kondisi, situasi, ruang, dan waktu. Sementara ragam bahasa tulis tidak, karena ia memuat kelengkapan unsur-unsur fungsi gramatikal dan ketatabahasaan.
d. Ragam bahasa lisan dipengaruhi oleh tinggi rendahnya dan panjang atau pendeknya suara, sementara ragam bahasa tulis dilengkapi dengan tanda baca, huruf besar dan huruf miring.
Selain dilihat dari segi sarana pemakaiannya, ragam bahasa Indonesia juga dapat dilihat dari situasi pemakaiannya. Dari segi situasi pemakaiannya, ragam bahasa Indonesia dapat dibedakan menjadi ragam bahasa Indonesia resmi dan ragam bahasa Indonesia tak resmi.
Ragam bahasa Indonesia resmi disebut juga ragam bahasa Indonesia formal. Ia merupakan ragam bahasa Indonesia yang digunakan dalam situasi formal. Sebagai ragam bahasa yang digunakan dalam situasi resmi atau formal, keberadaannya ditandai dengan pemakaian unsur-unsur kebahasaan yang memperlihatkan tingkat kebakuan yang tinggi.
Ragam bahasa Indonesia resmi memiliki bentuk ragamnya yang berupa lisan dan tulis. Dalam bentuk lisan, ragam bahasa Indonesia resmi dapat dijumpai pada pembicaraan-pembicaraan di seminar-seminar ataupun pada pembacaan teks-teks pidato kenegaraan. Sementara dalam bentuk tulis, ragam bahasa Indonesia resmi dapat dijumpai dalam teks-teks pidato kenegaraan.
Selain ragam bahasa Indonesia resmi, dari segi situasi pemakaiannya, bahasa Indonesia juga terdiri dari ragam bahasa Indonesia tak resmi. Ragam ini disebut juga ragam bahasa Indonesia informal. Ia merupakan ragam bahasa Indonesia yang digunakan dalam situasi tak resmi. Secara sederhana, ragam bahasa ini dapat dilihat dari pemakaian unsur-unsur bahasa yang memperlihatkan tingkat kebakuan yang rendah.
Sebagaimana ragam bahasa Indonesia resmi, ragam bahasa Indonesia tak resmi juga memiliki bentuknya, baik berupa lisan ataupun tulis. Dalam bentuk lisan, ragam bahasa Indonesia ini biasanya dengan mudah dapat kita jumpai dalam kehidupan dan pergaulan sehari-hari. Sementara dalam bentuk tulis, ragam bahasa Indonesia ini dapat dengan mudah ditemukan dalam sejumlah teks-teks sastra, baik apakah itu novel, cerita pendek, ataupun puisi.
Dari segi norma pemakaiannya, bahasa Indonesia terdiri dari dua ragam, baku dan tidak baku.
Ragam bahasa Indonesia baku adalah ragam bahasa Indonesia yang pemakaiannya sesuai dengan kaidah tatabahasa Indonesia yang berlaku, baik apakah itu secara ejaan, maupun ketatabahasaan secara lebih spesifik. Ia biasanya, baik secara lisan ataupun tulis, identik dengan ragam bahasa Indonesia resmi. Ini karena dalam situasi resmi, ragam bahasa Indonesia yang digunakan senantiasa mengacu pada kaidah-kaidah tatabahasa yang baku.
Ragam bahasa Indonesia tidak baku adalah ragam bahasa Indonesia yang pemakaiannya menyimpang dari kaidah yang berlaku. Ragam bahasa Indonesia ini, baik dalam bentuk tulis maupun lisan, berkaitan erat dengan ragam bahasa Indonesia tak resmi. Ini karena dalam situasi tak resmi, bahasa Indonesia baku tidak digunakan. Misalnya, di dalam pergaulan sehari-hari, penggunaan bahasa Indonesia baku akan membuat kondisi pergaulan menjadi kaku dan terkesan resmi.
Bahasa Indonesia, dalam ragamnya, juga dapat dilihat dari segi bidang pemakaiannya. Dalam segi bidang pemakaiannya, apakah itu dalam lisan ataupun tulis, bahasa Indonesia memiliki banyak ragam, antara lain: bahasa Indonesia jurnalistik, bahasa Indonesia sastra, bahasa Indonesia ilmiah, dsb. Ini karena banyaknya bidang kehidupan yang dimasuki oleh bahasa Indonesia dan setiap bidang tersebut memiliki cirinya masing-masing yang membedakan antara satu bidang dengan lainnya.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita kerap menggunakan bahasa Indonesia. Ia merupakan bahasa yang penting di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dilihat dari kedudukannya dalam khazanah kehidupan berbangsa dan bernegara, bahasa Indonesia memiliki dua pengertian, yaitu sebagai bahasa nasional dan sebagai bahasa negara.
Bahasa Indonesia, dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, didasarkan pada Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928, terutama butir ketiga yang berbunyi: "Kami putra dan putrid Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia". Sementara dalam kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara didasarkan pada Undang-Undang Dasar 1945, Bab XV, Pasal 36 yang berbunyi, "Bahasa negara adalah bahasa Indonesia".
Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia memiliki beberapa fungsi. Pertama, sebagai lambang kebanggaan nasional. Artinya, bahwa bahasa Indonesia mencerminkan nilai-nilai social budaya yang mendasari rasa kebangsaan bangsa Indonesia.
Fungsi kedua dari bahasa Indonesia dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional adalah sebagai lambang jati diri atau identitas nasional. Artinya, bahwa bahasa Indonesia merupakan cerminan kepribadian bangsa Indonesia secara eksistensi.
Selain sebagai lambang jati diri atau identitas nasional, bahasa Indonesia dalam kedudukannnya sebagai bahasa nasional juga memiliki fungsi sebagai alat pemersatu berbagai masyarakat yang berbeda latar belakang sosial, budaya, dan bahasanya. Artinya, bahwa bahasa Indonesia berfungsi sebagai alat komunikasi di seluruh pelosok Indonesia.
Fungsi terakhir yang dimiliki oleh bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional adalah sebagai alat perhubungan antarbudaya dan antardaerah. Artinya, bahwa dengan adanya bahasa Indonesia dan penggunaan bahasa Indonesia bangsa Indonesia mendahulukan kepentingan nasional ketimbang kepentingan daerah, suku ataupun golongan.
Tadi telah dipaparkan, bahwa bahasa Indonesia juga berkedudukan sebagai bahasa negara. Sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia memiliki beberapa fungsi. Pertama sebagai bahasa resmi negara.
Sebagai bahasa resmi negara, bahasa Indonesia digunakan untuk berbagai keperluan kenegaraan, baik lisan maupun tulis, seperti pidato-pidato kenegaraan, dokumen-dokumen resmi negara, dan sidang-sidang yang bersifat kenegaraan. Semua itu dilakukan dengan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantarnya.
Fungsi kedua bahasa Indonesia dalam kedudukannya sebagai bahasa negara adalah sebagai bahasa pengantar resmi di lembaga-lembaga pendidikan. Dalam fungsinya ini, bahasa Indonesia digunakan sebagai sarana penyampai ilmu pengetahuan kepada anak didik di bangku pendidikan dari tingkat taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi, baik negri maupun swasta.
Selain sebagai bahasa pengantar resmi di lembaga-lembaga pendidikan, bahasa Indonesia, sebagai bahasa negara, juga memiliki fungsi sebagai bahasa resmi dalam perhubungan pada tingkat nasional, baik untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan maupun untuk kepentingan pemerintahan. Artinya, bahwa bahasa Indonesia tidak saja hanya digunakan sebagai alat komunikasi timbal-balik antara pemerintah dan masyarakat luas, melainkan juga digunakan sebagai alat komunikasi penduduk di seluruh pelosok Indonesia.
Fungsi terakhir dari bahasa Indonesia sebagai bahasa negara adalah sebagai bahasa resmi di dalam kebudayaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Artinya, bahwa bahasa Indonesia dipakai sebagai alat untuk mengembangkan dan membina iptek dan kebudayaan nasional sehingga tercipta satu ciri khas yang menandakan satu kesatuan negara Indonesia dan bukannya kedaerahan.
II. Sejarah Bahasa Indonesia
Untuk dapat meraih kedudukannya sebagai bahasa nasional dan bahasa negara, bahasa Indonesia memiliki sejarah yang sangat panjang.
Telah diketahui bersama bahwa bahasa Indonesia yang kita gunakan saat ini berasal dari bahasa Melayu. Ada beberapa alasan yang menyebabkan diangkatnya bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia. Pertama, bahwa bahasa melayu merupakan lingua franca (bahasa yang dipergunakan sebagai alat komunikasi sosial di antara orang-orang yang berlainan bahasanya) di Indonesia.
Jauh sebelum bahasa Indonesia ada dan dipergunakan sebagai bahasa nasional dan bahasa negara di Indonesia, bahasa Melayu sudah terlebih dahulu menjadi alat komunikasi di Indonesia. Ini dapat dilihat dari banyaknya prasasti-prasasti pada zaman kerajaan Sriwijaya (kisaran abad VII) yang ditulis dengan menggunakan bahasa Melayu, seperti prasasti di Talang Tuwo, Palembang yang berangka tahun 684, prasasti di Kota Kapur, Bangka Barat yang berangka tahun 686, ataupun prasasti Karang Brahi yang berangka tahun 686.
Selain itu, keberadaan bahasa Melayu sebagai lingua franca di Indonesia juga dapat dilihat dari daftar kata-kata yang disusun oleh seorang Portugis bernama Pigafetta pada tahun 1522. Daftar tersebut dia susun berdasarkan kata-kata dari bahasa Melayu yang ada dan tersebar penggunaan di kepulauan Maluku. Atau juga pada surat keputusan yang dikeluarkan oleh Pemerintah kolonial Belanda. Surat keputusan yang bernomor K.B. 1871 No. 104 menyatakan bahwa pengajaran di sekolah-sekolah bumi putera diberi dalam bahasa Daerah, kalau tidak dipakai bahasa Melayu.
Alasan kedua yang meyebabkan diangkat bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia adalah kesederhanaan sistem bahasa Melayu yang tidak memiliki tingkatan. Tidak seperti bahasa Jawa yang memiliki tingkatan seperti kromo, kromo madya, dan ngoko, bahasa Melayu tidak mengenal sistem tingkatan seperti itu. Bahasa Melayu tidak mengenal tingkatan-tingkatan dalam sistem berbahasanya inilah yang menciptakan kesan bahasa Melayu mudah untuk dipelajari.
Selain itu, diterima dan diangkatnya bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia disebabkan karena kerelaan berbagai suku di Indoensia untuk menerima bahasa Melayu sebagai bahasa nasional bangsa Indonesia. Bentuk kerelaan ini puncaknya terjadi pada Kongres Pemuda Indonesia tanggal 28 Oktober 1928 yang melahirkan teks Naskah Sumpah Pemuda, yang salah satu butirnya berbunyi, "Kami putra dan putrid Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Alasan keempat atau alasan terakhir yang menyebabkan diangkatnya bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia adalah kesanggupan bahasa Melayu untuk dipakai sebagai bahasa kebudayaan dalam arti yang luas. Kesanggupan ini dibuktikan dengan keberadaan bahasa Melayu yang merupakan alat perhubungan antara orang-orang yang berlainan bahasanya di Indonesia. Sebagai alat perhubungan tersebut, bahasa Melayu telah mampu membuktikan kemampuannya dalam menterjemahkan segala perilaku dan bentuk-bentuk budaya yang ada di Indonesia, sehingga mereka yang berada di luar wilayah kebudayaan Indonesia pun dapat memahami segala bentuk dan perilaku kebudayaan yang ada di Indonesia.
III. Ragam Bahasa Indonesia
Dalam praktek pemakaiannya bahasa memiliki banyak ragam. Secara sederhana, ragam bahasa dapat diartikan sebagai variasi pemakaian bahasa yang timbul sebagai akibat adanya sarana, situasi, norma dan bidang pemakaian bahasa yang berbeda-beda. Merujuk pada pengertian tersebut, maka ragam bahasa dapat dilihat dari empat segi, yaitu: (a) segi sarana pemakaiannya, (b) segi situasi pemakaiannya, (c) segi norma pemakaiannya, dan (d) segi bidang pemkaiannya.
Berdasarkan segi sarana pemakaiannya, bahasa Indonesia dapat dibedakan atas dua ragam, yakni tulis dan lisan. Ragam bahasa Indonesia tulis adalah variasi bahasa Indonesia yang dipergunakan dengan medium tulisan. Sementara ragam bahasa Indonesia lisan adalah ragam bahasa Indonesia yang diungkapkan dalam bentuk lisan.
Antara ragam bahasa lisan dan bahasa tulis terdapat beberapa perbedaan, sebagai berikut:
a. Ragam bahasa lisan menghendaki adanya orang kedua yang bertindak sebagai lawan bicara orang pertama yang hadir di dapan, sedangkan dalam ragam tulis keberadaan orang kedua yang bertindak sebagai lawan bicara tidak harus ada atau hadir di hadapan.
b. Dalam ragam bahasa lisan unsur-unsur fungsi gramatikal seperti subjek, predikat dan objek tidak selalu dinyatakan, bahkan terkadang (dan tak jarang) unsure-unsur tersebut ditinggalkan. Ini disebabkan karena bahasa yang digunakan tersebut dapat dibantu oleh gerak, mimik, pandangan, anggukan atau intonasi. Sementara pada ragam bahasa tulis fungsi-fungsi gramatikal senantiasa dinyatakan dengan jelas. Ini semata karena ragam tulis menghendaki agar orang yang "diajak bicara" mengerti isi dari sebuah tulisan yang disampaikan.
c. Ragam bahasa lisan terikat pada kondisi, situasi, ruang, dan waktu. Sementara ragam bahasa tulis tidak, karena ia memuat kelengkapan unsur-unsur fungsi gramatikal dan ketatabahasaan.
d. Ragam bahasa lisan dipengaruhi oleh tinggi rendahnya dan panjang atau pendeknya suara, sementara ragam bahasa tulis dilengkapi dengan tanda baca, huruf besar dan huruf miring.
Selain dilihat dari segi sarana pemakaiannya, ragam bahasa Indonesia juga dapat dilihat dari situasi pemakaiannya. Dari segi situasi pemakaiannya, ragam bahasa Indonesia dapat dibedakan menjadi ragam bahasa Indonesia resmi dan ragam bahasa Indonesia tak resmi.
Ragam bahasa Indonesia resmi disebut juga ragam bahasa Indonesia formal. Ia merupakan ragam bahasa Indonesia yang digunakan dalam situasi formal. Sebagai ragam bahasa yang digunakan dalam situasi resmi atau formal, keberadaannya ditandai dengan pemakaian unsur-unsur kebahasaan yang memperlihatkan tingkat kebakuan yang tinggi.
Ragam bahasa Indonesia resmi memiliki bentuk ragamnya yang berupa lisan dan tulis. Dalam bentuk lisan, ragam bahasa Indonesia resmi dapat dijumpai pada pembicaraan-pembicaraan di seminar-seminar ataupun pada pembacaan teks-teks pidato kenegaraan. Sementara dalam bentuk tulis, ragam bahasa Indonesia resmi dapat dijumpai dalam teks-teks pidato kenegaraan.
Selain ragam bahasa Indonesia resmi, dari segi situasi pemakaiannya, bahasa Indonesia juga terdiri dari ragam bahasa Indonesia tak resmi. Ragam ini disebut juga ragam bahasa Indonesia informal. Ia merupakan ragam bahasa Indonesia yang digunakan dalam situasi tak resmi. Secara sederhana, ragam bahasa ini dapat dilihat dari pemakaian unsur-unsur bahasa yang memperlihatkan tingkat kebakuan yang rendah.
Sebagaimana ragam bahasa Indonesia resmi, ragam bahasa Indonesia tak resmi juga memiliki bentuknya, baik berupa lisan ataupun tulis. Dalam bentuk lisan, ragam bahasa Indonesia ini biasanya dengan mudah dapat kita jumpai dalam kehidupan dan pergaulan sehari-hari. Sementara dalam bentuk tulis, ragam bahasa Indonesia ini dapat dengan mudah ditemukan dalam sejumlah teks-teks sastra, baik apakah itu novel, cerita pendek, ataupun puisi.
Dari segi norma pemakaiannya, bahasa Indonesia terdiri dari dua ragam, baku dan tidak baku.
Ragam bahasa Indonesia baku adalah ragam bahasa Indonesia yang pemakaiannya sesuai dengan kaidah tatabahasa Indonesia yang berlaku, baik apakah itu secara ejaan, maupun ketatabahasaan secara lebih spesifik. Ia biasanya, baik secara lisan ataupun tulis, identik dengan ragam bahasa Indonesia resmi. Ini karena dalam situasi resmi, ragam bahasa Indonesia yang digunakan senantiasa mengacu pada kaidah-kaidah tatabahasa yang baku.
Ragam bahasa Indonesia tidak baku adalah ragam bahasa Indonesia yang pemakaiannya menyimpang dari kaidah yang berlaku. Ragam bahasa Indonesia ini, baik dalam bentuk tulis maupun lisan, berkaitan erat dengan ragam bahasa Indonesia tak resmi. Ini karena dalam situasi tak resmi, bahasa Indonesia baku tidak digunakan. Misalnya, di dalam pergaulan sehari-hari, penggunaan bahasa Indonesia baku akan membuat kondisi pergaulan menjadi kaku dan terkesan resmi.
Bahasa Indonesia, dalam ragamnya, juga dapat dilihat dari segi bidang pemakaiannya. Dalam segi bidang pemakaiannya, apakah itu dalam lisan ataupun tulis, bahasa Indonesia memiliki banyak ragam, antara lain: bahasa Indonesia jurnalistik, bahasa Indonesia sastra, bahasa Indonesia ilmiah, dsb. Ini karena banyaknya bidang kehidupan yang dimasuki oleh bahasa Indonesia dan setiap bidang tersebut memiliki cirinya masing-masing yang membedakan antara satu bidang dengan lainnya.
Komentar
Posting Komentar